Nyawa Dibayar Uang atau Maaf ?

Cirebonmedia.com- Desa Citemu Cantilan yang berseberangan dengan Desa Waru Duwur, Kabupaten Cirebon masih menyimpan bentangan luas sawah. Potensi lahan dan keasrian yang dimiliki tentu perlu didayagunakan oleh masyarakat setempat agar dapat bermanfaat.

Sepintas, aktivitas masyarakat di daerah tersebut tidak jauh berbeda dengan aktivitas masyarakat di tempat lain atau pun di perkotaan. Meski demikian, tidak dipungkiri rasa kekhawatiran selalu melanda warga. Pasalnya, rel kereta api yang menyisiri sawah, bahkan sebagai akses pintu ke luar masuknya warga kerap kali dianggap menjadi pengadilan. Pengadilan manusia.

Rel kereta api tak berpalang pintu mencerminkan kurangnya perhatian pemerintah terhadap masyarakat. Ditambah lagi dengan tidak adanya penerangan di sekitar rel, padahal dari arah timur merupakan tikungan, sehingga siang dan malam hari tidak terlihat keberadaan kereta. Jaman canggih tidak perlu lagi memakai tenaga manusia, namun hanya dengan fasilitas pengadaan palang pintu kereta api, maka dapat mencegah terjadinya hal – hal tidak diinginkan. Lebih baik mencegah hilangnya nyawa akibat kelalaian manusia daripada menanggung risiko hilangnya nyawa manusia. Toh pembuatan palang pintu kereta api tidak akan mampu mengalahkan angka korupsi.

Keuntungan PT KAI begitu besar, maka ada baiknya antara PT. KAI dan Dinas Perhubungan Kabupaten Cirebon duduk bersama guna mencari solusi memecahkan persoalan ini. Kasus semacam ini tidak hanya berada di Desa Cantilan Kabupaten Cirebon, namun masih ada lagi beberapa tempat lainnya di Kabupaten Cirebon, bahkan menurut informasi terdapat daerah yang tidak berpalang pintu kereta api dijadikan ladang usaha oleh oknum – oknum tertentu. Kabarnya bagi pejalan kaki maupun pengendara kendaraan ditarif Rp 500, 00 setiap melewati rel kereta api. Semacam pungli.

Dampak lain dari ketiadaan palang pintu perlintasan rel kereta api ialah jatuhnya korban. Di Desa Cantilan sendiri setahun lalu telah jatuh seorang korban tewas. Laki – laki berkendara motor. Kabarnya, ia bukan merupakan warga setempat, melainkan tamu atau pendatang. Desas – desus kronologi yang sempat nyaring bahwa pria tersebut selesai rehat di warung dekat rel kereta api, lalu saat akan melintas motornya berhenti, ia menengok ke belakang dan saat melintas langsung dihantam kereta.

“Kayaknya kurang konsentrasi,“ ujar Pak ling selaku warga setempat. Beliau yang bekerja di Pemda Kearsipan Kab. Sumber dan telah tinggal di Desa Cantilan sejak tahun 2006 menuturkan kiranya sudah dua kali terjadi korban tewas tertabrak kereta api semenjak beliau tinggal di desa tersebut.

“Biasanya setiap satu jam sekali kereta lewat terlebih jika pagi hari. Kereta barang ada juga. Tiap kereta mau lewat pasti ada sirine.”“Kegiatan kereta api sebenarnya mengganggu aktivitas masyarakat, tapi karena sudah menjadi program pemerintah ya kami ikuti. Di sini masyarakat padat. Rata – rata para orang tua selalu menyuruh anaknya untuk tidak main jauh – jauh apalagi sampai melintasi rel kereta api. Biasanya batasnya cuma sampai depan rumah saya saja. Apalagi kalau bulan puasa pasti padat. Masyarakat biasanya tiap sore ngabuburit,“ begitu ujar beliau.

Menurut beliau pula, masyarakat setempat memang belum mengajukan kebutuhan pengadaan palang pintu perlintasan rel kereta api, karena belum tahu harus mengajukan ke mana. Begitu pun dari pihak pemerintah belum ada gerakan peninjauan langsung ke lapangan terhadap kebutuhan pengadaan palang pintu rel kereta api.

“Padahal bila pihaknya meminta bantuan pada masyarakat untuk patungan sepertinya masyarakat mau,“ ujar beliau terkesan pesimis.