Masjid Raya At-Taqwa, Simbol Masjid Modern

Sederet nama masjid kuno yang ada di Cirebon abad 18 antara lain Masjid Pejlagrahan, Majid Agung Sang Cipta Rasa, Masjid Merah Panjunan, Majid Jagabayan, dan Majid Pangeran Kejaksan. Pada awal abad ke 19 tepatnya tahun 1918 di Cirebon berdiri tajug agung atau langgar alit (sekarang Masjid Raya At-Taqwa).

Sedikit mengulas sejarah At-Taqwa bahwa di tahun 1961 Bung Karno datang ke Cirebon guna meninjau masjid dan mengatakan karena di Cirebon sudah ada masjid agung, maka masjid atau langgar alit tersebut diberi nama Masjid Raya, sehingga terbentuklah nama Masjid Raya At-Taqwa dan di tahun yang sama dilakukan pemugaran didanai oleh Ibu Garmini yang juga memiliki masjid di Kesambi dengan nama Masjid Sunan Gunung Jati dan swadaya ABRI.

Masjid Raya At-Taqwa yang merupakan pelanjut dari masjid-masjid yang sudah ada juga pernah menjadi pusat pendidikan, yakni digunakan sebagai tempat perkuliahan ketika sedang dirintis perguruan tinggi Islam IAIN.

Masjid Raya At-Taqwa sendiri sengaja dirancang seperti di kota lain, yakni di sekitar masjid ada alun-alun, pendopo, dan mudah akses ke pasar. Posisi semacam inilah yang akhirnya menjadikan At-Taqwa sebagai symbol masjid modern abad 19 yang merupakan tindak lanjut dari masjid-masjid yang sudah ada.

Masjid ini sudah mengalami empat kali renovasi dan terakhir merupakan renovasi besar-besaran di tahun 2005.

Ketika namanya masih langgar di tahun 1961 dengan luas bangunan tidak lebih dari delapan kali lima meter, saat itu posisi di tengah dikelilingi oleh kantor kemenag, rumah dinas kepala kantor kemenag, dan kantor urusan agama, lalu pada tahun 1970 di sekitar masjid dilengkapi TK dan sekre remaja masjid. Pada tahun 2005 merupakan renovasi total sehingga kantor kemenag pindah ke Jl.Brigjen Darsono dan rumah kepala dinas kemenag dibangun menjadi Islamic Center.

Dilihat dari masa berdirinya, tentu saja masjid ini hadir sebelum masa kemerdekaan Indonesia pada tanggal 17 Agustus 1945. Meski bukan merupakan benda cagar budaya, tapi masjid ini mengandung nilai sejarah. Pada masa itu, masjid ini merupakan salah satu masjid yang ikut meramaikan Masjid Agung Sang Cipta Rasa di Keraton Kasepuhan Cirebon, maka dari itu diberi nama masjid raya sebab sudah ada masjid agung.

Para pemuka agama saat itu banyak membangun masjid dengan tujuan sebagai tempat ibadah dan tempat berkumpul. Sebagai contoh, yakni Masjid Jagabayan yang dulu merupakan posko para tentara kerajaan, Masjid Pangeran Kejaksan yang bertempat di belakang kantor Kelurahan Kejaksan.

Sebelum Masjid At-Taqwa berdiri, sudah lebih dulu ada beberapa masjid di Cirebon, namun posisinya lebih banyak terletak di wilayah utara, seperti di sekitar Kasepuhan dan Kanoman. Disebabkan saat itu Jalan Siliwangi merupakan jalur pantura dan belum ada masjid berdiri, maka dibuatlah langgar agung yang diharapkan dengan berdirinya langgar agung ini bisa dijadikan tempat transit maupun tempat beribadah masyarakat yang sedang melakukan perjalanan dari arah Gunung Jati menuju Jawa Tengah atau sebaliknya pun mempermudah masyarakat sekitar melaksanakan ibadah.

Upaya pembenahan struktur masjid dan sistem internal keorganisasian pun terus dilakukan. Visi misi yang dipegang teguh oleh Masjid Raya At-Taqwa pun muncul setelah perealisasian konsep modern dengan kepengurusan yang utuh, antara lain sebagai pusat kajian dan dakwah Islam di Jawa Barat dan mencerahkan maka sejak tahun 2002 Masjid Raya At-Taqwa sudah menggunakan system IT dan memiliki web sendiri yaitu At-Taqwa Cirebon. Adanya Masjid Raya At-Taqwa yang dikemas secara modern bergandeng dengan masjid-masjid berarsitektur lama menunjukan dinamika masyarakat berkembang, umat Islam pun ikut berkembang. Inilah yang menjadi pemicu agar arsitektur masjid harus terus berkembang. Pembenahan semacam inilah yang terus dilakukan bertujuan untuk mewujudkan At-Taqwa sebagai Landmark Kota Wali.

Beberapa agenda rutin di Masjid Raya At-Taqwa, antara lain ; kuliah subuh termasuk di bulan ramadhan dan usianya telah mencapai empat puluh tahun; pengajian rutin di malam Selasa, Kamis, dan Jumat; berdirinya TPA, TK, dan rumah tahfidz; lembaga zakat; serta kegiatan ekonomi dan koperasi. System pengelolaannya tentu saja melibatkan remaja.

Menurut Bapak Syaeful Badar, MA selaku humas menuturkan bahwa jumlah jamaah Masjid Raya At-Taqwa di Hari Senin sampai Jumat mencapai dua ribu orang serta Hari Sabtu dan Minggu mencapai lima sampai enam ribu orang, sedangkan selama bulan ramadhan mencapai tiga hingga empat ribu orang setiap harinya.

At-Taqwa yang didirikan dan pernah dikelola langsung oleh pemda sejak tahun 1980, tetapi aktivitas belum maksimal, sehingga para aktivis masjid merasa punya tanggung jawab untuk membesarkan Masjid Raya At-Ataqwa dan akhirnya pengelolaan masjid pun mengalami alih kelola kepada masyarakat pada tahun 2002. Cara-cara tradisional yang dulu pernah diterapkan, semisal muadzin merangkap imam, bahkan imamnya itu-itu melulu berganti dengan system modern, yakni baik sholat rawatib, maupun Jumat tuk imam lebih banyak mengambil dari Qori-Qori terbaik dan masih muda.

Hadirnya At-Taqwa di tengah masyarakat memberikan kontribusi besar terhadap perkembangan Islam, khususnya di wilayah Cirebon. “Selama bulan ramadhan saja yang sudah berjalan delapan tahun setiap sholat taraweh pasti menghabiskan satu jus dalam semalam dan menampilkan enam imam tahfidz, maka inilah yang menjadi ciri khas karena di Jawa Barat hanya Masjid Raya At-Taqwa sajalah yang mampu menghabiskan satu juz dalam semalam.”

Bapak Syaeful Badar, MA Humas Masjid Raya At – Taqwa

Hal lain yang menunjukan bahwa Masjid Raya At-Taqwa tak pernah surut dari kehidupan masyarakat, yakni di sepuluh malam terakhir atau Qiyamul Lail selalu dipenuhi jamaah yang mencapai empat sampai lima ribu orang, terlebih bila di malam-malam ganjil bisa mencapai tujuh ribu jamaah datang ke At-Taqwa, baik dari dalam maupun luar kota.

Menurut beliau, keinginan terbesar dari para pengurus At-Taqwa ialah ingin mengembangkan Cirebon agar tetap menjadi pusat kegiatan keagamaan di tingkat Jawa Barat. “Pada abad ke empat atau lima belas Sunan Gunungjati memproklamirkan Cirebon sebagai Kesultanan Islam. Beliau adalah salah satu sultan yang mengislamkan Jawa Barat, sehingga kami punya tanggung jawab agar central kegiatan Islam di Jawa Barat ada di Cirebon,” ujar beliau.

“Setiap kegiatan yang menjadi leader ialah remaja, sehingga mereka merasa punya tanggung jawab mengembangkan masjid dan tentu dengan begitu maka estafet kepemimpinan akan terus berjalan dan sirkulasi remaja masjid setiap tahun selalu mengalami perkembangan cukup baik. Ada yang ke luar pasti ada yang masuk. Ke luar karena kuliah sudah selesai.”

Pemberian kesempatan kepada para remaja masjid untuk berekspresi dan berkreatifitas adalah salah satu langkah yang diterapkan untuk menjadikan regenerasinya merasa nyaman saat masuk ke dalam masjid, sehingga mereka tergiring untuk membuat peta aktivitas sesuai dengan keinginannya.